Melaluipuisi "Sajak Sebatang Lisong", W.S. Rendra mengungkapkan kritikan tentang kehidupan nyata di masyarakat. Namun, dari bait-bait tersebut, W.S. Rendra juga mengungkapkan solusi berupa sikap/tindakan yang sebaiknya dilakukan. Bait-bait yang berisi solusi tersebut terdapat di bait ke . Apresiasi Puisi Sajak Sebatang Lisong Karya Rendra Puisi yang berjudul sajak Sebatang Lisong ini merupakan puisi balada. Puisi balada ialah puisi yang bercerita tentang orang-orang perkasa atau tokoh pujaan atau orang yang menjadi pusat perhatian Herman, 2012 dalam Adzani, 2012. Puisi karya Rendra ini termasuk jenis puisi naratif dimana puisi ini mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair. Dari puisi inilah Rendra mengungkapkan perasaannya. Puisi yang ditulis pada tahun 1973 dan terangkum dalam buku Potret Pembangunan dalam Puisi ini merupakan puisi yang secara gamblang mengkritik sosial. Rendra tanpa sungkan-sungkan lagi mengkritik. Dengan bahasa sastra ia berbicara, dengan bahasa sastra pula ia mengkritik pemerintahan, hingga ia dianggap berbahaya oleh rezim. Tidak heran kalau Rendra sering dicekal dan bahkan ditahan oleh pemerintah pada masa itu. Berikut pemaknaan puisi yang berjudul Sajak Sebatang Lisong. Pada bait pertama penulis menceritakan bahwa orang-orang kaya yang digambarkan sebagai cukong begitu menikmati gaya hidup yang mewah yang digambarkan dengan menghisap sebatang lisong. Sementara itu, jutaan rakyat menjerit meratapi kehidupannya sama sekali tidak mereka hiraukan. Bait kedua, penyair secara lantang menyuarakan nasib jutaan anak-anak yang tidak mengenyam pendidikan di masa itu. Padahal negara sudah merdeka dan pendidikan merupakan hak setiap anak. Hal ini digambarkan dengan //matahari terbit/ fajar tiba. Pada bait ketiga, penyair secara tegas ingin memprotes tentang keadaan yang terjadi di Indonesia, namun keinginan tersebut sia-sia, karena ia sebagai rakyat tidak diberikan hak untuk menyaurakan pendapatnya/mengutarakan isi hatinya. Hal ini digambarlkan dengan pertanyaan-pertanyaannya yang membentur meja kekuasaan yag macet. Selanjutnya penyair juga menyindir dunia pendidikan khususnya guru. Dalam puisi penyair tidak secara langsung menyebut guru karena konteks guru sudah menghilang dari birokrat yang harus disebut pendidik lembah pena, 2011. Pada bait keempat, penyair menyuarakan kembali nasib anak-anak yang tidak mengenyam pendidikan. Padahal anak adalah aset suatu bangsa, namun keadaannya pada masa itu malah tidak diperhatikan. Hal ini akan membuat hancurnya masa depan bangsa karena anak yang merupakan pewaris bangsa tidak diberikan bekal pendidikan yang cukup sehingga mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengelolanya. Jangankan mengelola/mengatur bangsa, mengatur dirinya saja mereka belum tentu bisa karena masa depan yang sangat suram. Hal ini sesuai dengan potongan bait berikut // tanpa dangau persinggahan/ tanpa ada bayangan ujungnya. Bait kelima, penyair kembali lagi menyindir para penguasa negeri yaitu orang-orang kaya yang diistilahkan dengan cukong. Mereka tidak mempedulikan kegagalan pendidikan yang terjadi di negerinya. Banyak sarjana menjadi pengangguran, berpeluh di jalan raya. Bahkan mereka juga tidak mempedulikan keadaan ekonomi bangsanya yang digambarkan penyair dengan melihat wanita bunting antri uang pensiun. Bait keenam dan ketujuh, penyair menggambarkan bahwa teknokrat hanya bisa mencela tanpa bertindak apa-apa. Teknokrat yang berarti cendekia yang berkiprah dalam pemerintahan, sama halnya dengan cukong. Penyair menggambarkan bahwa teknokrat ditempatkan di langit. Mereka jauh dari ingar-bingar persoalan kehidupan nyata. Bangsa Indonesia sendiri yang salah karena mereka malas, tidak mau dibangun dan tidak mau menyesuaikan dengan teknologi asing. Pada bait kedelapan mengisahkan bahwa di zaman yang modern, gedung-gedung bertingkat bahkan pencakar langit sangat mudah dijumpai. Namun, itu semua hanya milik cukong-cukong dan masyarakat yang di bawah, tetaplah di bawah. Mereka tidak punya daya, bahkan untuk menyuarakan pendapatnya saja mereka tidak bisa. Karena masyarkat tidak diberi kebebasan untuk berpendapat. Hal ini membuat masyarakat menjadi putus asa dan mereka memilih tidur saja daripada mendapat celaka. Bait kesembilan penyair mengkritik para sastrawan dan teman-teman seperjuangannya. Ia merasa kecewa terhadap para sastrawan yang hanya terbius oleh sajak-sajak romantis yang dibuatnya. Padahal sebagai seorang intelektual dengan bahasa sebagai sarana perjuangan sosial, sastrawan seharusnya ikut andil menjadi motor penggerak. Puisiws rendra : Sajak Sebatang Lisong. menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya mendengar 130 juta rakyat dan di langit dua tiga cukung mengangkang berak di atas kepala mereka. matahari terbit fajar tiba dan aku melihat delapan juta kanak kanak tanpa pendidikan. aku bertanya tetapi pertanyaan pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang - Rendra atau yang dikenal dengan nama Willibrordus Surendra Broto Rendra merupakan seorang penyair ternama di Indonesia. Beberapa karyanya yang terkenal adalah puisi, cerpen cerita pendek, hingga skenario drama. Dalam dunia sastra, Rendra sangat berjasa dalam pengembangan sastra. Karya-karyanya tidak hanya dikenal di dalam negeri saja, melainkan juga di luar negeri. Salah satu contoh karya sastranya yang cukup terkenal adalah Puisi Sajak Sebatang dari buku Kumpulan Esai Apresiasi Puisi 2018 karya Indra Intisa, berikut isi puisi Sajak Sebatang Lisong, karya Rendra Menghisap sebatang lisongmelihat Indonesia Raya,mendengar 130 juta rakyat,dan di langitdua tiga cukong mengangkang,berak di atas kepala mereka Matahari aku melihat delapan juta kanak-kanaktanpa pendidikan. Baca juga Puisi Sapardi Djoko Damono Aku bertanya,tetapi pertanyaan-pertanyaankumembentur meja kekuasaan yang macet,dan papantulis-papantulis para pendidikyang terlepas dari persoalan kehidupan. Delapan juta kanak-kanakmenghadapi satu jalan panjang,tanpa pilihan,tanpa pepohonan,tanpa dangau persinggahan,tanpa ada bayangan ujungnya. Menghisap udarayang disemprot deodorant,aku melihat sarjana-sarjana menganggurberpeluh di jalan raya;aku melihat wanita buntingantri uang pensiun. Dan di langit;para tekhnokrat berkata bahwa bangsa kita adalah malas,bahwa bangsa mesti dibangunmesti di-up-gradedisesuaikan dengan teknologi yang diimpor Gunung-gunung pesta warna di dalam senjakalaDan aku melihatprotes-protes yang terpendam,terhimpit di bawah tilam. Baca juga 7 Puisi Sapardi Djoko Damono yang Paling DikenalAku bertanya,tetapi pertanyaankumembentur jidat penyair-penyair salon,yang bersajak tentang anggur dan rembulan,sementara ketidakadilan terjadi di sampingnyadan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikantermangu-mangu di kaki dewi kesenian. Bunga-bunga bangsa tahun depanberkunang-kunang pandang matanya,di bawah iklan berlampu neon,Berjuta-juta harapan ibu dan bapakmenjadi gemalau suara yang kacau,menjadi karang di bawah muka samodra. Kita harus berhenti membeli rumus-rumus hanya boleh memberi metode,tetapi kita sendiri mesti merumuskan mesti keluar ke jalan raya,keluar ke desa-desa,mencatat sendiri semua gejala,dan hanya menghayati persoalan yang nyata. Inilah sajakkuPamplet masa artinya kesenian,bila terpisah dari derita artinya berpikir,bila terpisah dari masalah kehidupan. 19 Agustus 1977 Makna puisi Sajak Sebatang Lisong Dalam jurnal Potret Kesenjangan Pendidikan dalam Puisis “Sajak Seonggok Jagung” Karya Rendra 2015 karya Bernardus T. Beding, puisi Sajak Sebatang Lisong menampilkan realita dunia pendidikan di Indonesia. Baca juga Jenis-Jenis Puisi Lama Dengan jelas, Rendra menampilkan kesenjangan sosial, khususnya pendidikan, dalam puisinya tersebut. Pendidikan di Indonesia dikembangkan berdasarkan status sosial. Hal ini terlihat pada bait pertama dan bait kedua puisi Menghisap sebatang lisongmelihat Indonesia Raya,mendengar 130 juta rakyat,dan di langitdua tiga cukong mengangkang,berak di atas kepala mereka Matahari aku melihat delapan juta kanak-kanaktanpa pendidikan. Selain itu, puisi ini juga mengandung kritikan yang ditujukan kepada penguasa, dalam hal ini pemerintah. Kritikan tersebut disampaikan dalam konteks sosial, khususnya pendidikan. Sangat jelas terlihat kesenjangan para penguasa dengan masyarakat. Penguasa membuat peraturan atau kebijakan yang sewenang-wenang. Sedangkan banyak anak yang tidak mampu menempuh pendidikan, serta masyarakat yang harus kesusahan mencari pekerjaan. Kritik yang disampaikan kepada penguasa pun seolah tidak dihiraukan. Baca juga Membaca Puisi Karya Chairil Anwar, Jawaban Soal TVRI 10 September Bisa disimpulkan jika puisi Sajak Sebatang Lisong ini memiliki dua makna penting, yakni Membahas soal kesenjangan sosial, khususnya pendidikan. Penguasa yang berbuat sewenang-wenang, sedangkan banyak masyarakat kesusahan. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Digital Grid.id Kontan.co.id Kgmedia.id Login Berikan Masukanmu Langganan Kompas.id News Nasional Megapolitan Global Surat Pembaca Kilas Daerah Kilas Korporasi Kilas Kementerian Sorot Politik Kilas Badan Negara Kilas Parlemen Indeks Regional Medan Palembang Surabaya Makassar Balikpapan Samarinda Tren

- Rendra atau yang dikenal dengan nama Willibrordus Surendra Broto Rendra merupakan seorang penyair ternama di Indonesia. Beberapa karyanya yang terkenal adalah puisi, cerpen cerita pendek, hingga skenario drama. Dalam dunia sastra, Rendra sangat berjasa dalam pengembangan sastra. Karya-karyanya tidak hanya dikenal di dalam negeri saja, melainkan juga di luar negeri. Salah satu contoh karya sastranya yang cukup terkenal adalah Puisi Sajak Sebatang dari buku Kumpulan Esai Apresiasi Puisi 2018 karya Indra Intisa, berikut isi puisi Sajak Sebatang Lisong, karya Rendra Menghisap sebatang lisongmelihat Indonesia Raya,mendengar 130 juta rakyat,dan di langitdua tiga cukong mengangkang,berak di atas kepala mereka Matahari aku melihat delapan juta kanak-kanaktanpa juga Puisi Sapardi Djoko Damono Aku bertanya,tetapi pertanyaan-pertanyaankumembentur meja kekuasaan yang macet,dan papantulis-papantulis para pendidikyang terlepas dari persoalan kehidupan. Delapan juta kanak-kanakmenghadapi satu jalan panjang,tanpa pilihan,tanpa pepohonan,tanpa dangau persinggahan,tanpa ada bayangan ujungnya. Menghisap udarayang disemprot deodorant,aku melihat sarjana-sarjana menganggurberpeluh di jalan raya;aku melihat wanita buntingantri uang pensiun. Dan di langit;para tekhnokrat berkata bahwa bangsa kita adalah malas,bahwa bangsa mesti dibangunmesti di-up-gradedisesuaikan dengan teknologi yang diimpor

Saya misalnya, selalu mengingat puisi WS Rendra "Sajak Sebatang Lisong". Puisi ini membongkar persepsi saya bahwa sastra adalah karya linuhung yang tak terjangkau dunia rendah manusia. mantra. Kebetulan saya manusia pemuja makna, dan mantra, seperti kata Goenawan Mohamad, tak berkaitan dengan makna tapi dengan tuah. Atau mungkin benar Citraan, Diksi, dan Amanat dalam Puisi Sajak Sebatang Lisong Karya Rendra Puisi karya Rendra yang berjudul Sajak Sebatang Lisong ini menggunakan diksi yang tepat. Pilihan kata yang digunakan penyair untuk menggambarkan suasana hatinya cukup menarik dan dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Seperti parafrase dalam puisi Sajak Sebatang Lisong yang telah disampaikan sebelumnya, penggunaan diksi yang seperti itu sangat tepat sekali jika dikaitkan dengan latar historis puisi tersebut. Dikatakan tepat karena puisi yang ditulis dalam buku Potret Pembangunan dalam Puisi ini secara terang-terangan memperlihatkan kritik sosial. Oleh karena itulah penggunaan diksi tersebut sangat tepat karena diharapkan maksud penyair yang berisi sindiran/kritikan tersebut tersampaikkan dan dapat dengan mudah dicerna oleh pendengar, yaitu masyarakat, kalangan pendidik, seniman, dan pemerintah Indonesia. Pendekatan analitis digunakan manakala suatu puisi memiliki nilai dan persepsi tersendiri dalam setiap kata dalam puisinya. Walaupun penyair menggunakan diksi yang mudah dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan dapat dengan mudah dipahami, namun memiliki makna yang sangat mendalam dan dapat mewakili perasaan/ isi hati penyair. Dalam potongan puisinya tersebut ia mengajak kalangan pendidikan untuk berhenti membeli rumus-rumus asing, yaitu sesuatu yang tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia dan yang benar ialah untuk menyelesaikan persoalan yang ada hendaknya terjun langsung mencari solusinya dengan menyesuaikan keadaan yang nyata. Citraan imagery yang terdapat dalam puisi Sajak Sebatang Lisong ini menggunakan 1 citra penglihatan visual imagery, 2 citra pendengaran auditory imagery, 3 citra perabaan tactile imagery, 4 citra penciuman olfactory imagery, 5 citra gerak, dan 6 citra perasaan. Gaya bahasa dan sarana retorika yang digunakan dalam puisi yang pernah dibacakan Rendra di Institut Teknologi Bandung, pada tanggal 17 Agustus 1977 ini adalah pleonasme. Pradopo 198795 menjelaskan pleonasme keterangan berulang ialah sarana retorika yang sepintas lalu seperti tautologi, tetapi kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama. Sarana retorika yang terdapat dalam puisi ini dapat dibuktikan pada bait kedua, yakni //matahari terbit / fajar tiba//. Dalam hal ini penyair mengulang frasa matahari terbit dengan fajar tiba yang merupakan dua hal berbeda, namun sebenarnya sama. Frasa fajar tiba sudah tersimpul dalam frasa matahari terbit. Pengulangan yang seperti ini sengaja dibuat oleh penyair untuk memberikan kejelasan pada pembaca. Selanjutnya pada bait ketiga, penyair menggunakan gaya bahasa personifikasi, yaitu menghidupkan benda yang mati. Pertanyaan yang pada hakikatnya adalah benda mati, diibaratkan hidup sehingga membentur meja kekuasaan yang macet. Dalam puisi ini juga dijumpai majas hiperbola, yaitu majas yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan. Dalam hal ini penyair ingin melebih-lebihkan, maksudnya untuk intensitas dan ekspresivitas. Dengan kata lain, penyair ingin memberikan mengungkapkan gambaran, maksud, gagasan, dan perasaan secara berlebih. Dalam puisi tersebut maksudnya ialah delapan juta anak yang tidak mengenyam pendidikan pada masa itu masa depannya akan suram, mereka tidak mempunyai bekal hidup, sehingga tidak ada pilihan lain selain keterpurukan. Dalam hal ini penyair menggambarkannya dengan jalan panjang tanpa pilihan, tanpa pepohonan gersang’, tanpa dangau persinggahan, dan tanpa ada bayangan ujungnya. Rima yang digunakan penyair dalam puisi ini adalah rima patah, karena penyair tidak begitu memerhatikan struktur rimanya. Rima patah yaitu persamaan bunyi yang tersusun tidak mementu pada akhir larik-lrik puisi. Kombinasi bunyi vokal asonansi puisi tersebut menambah unsur keindahan tersendiri. Pada puisi ini terdapat kombinasi bunyi vokal /a/ dan /u/ yang dominan dalam larik, yaitu //tanpa dangau persinggahan / tanpa ada bayangan ujungnya// dan // menjadi gemalau suara yang kacau//. Selain itu juga terdapat bunyi sengau /n/, /m/, /ng/, yaitu seperti tampak pada potongan bait berikut yang dapat menimbulkan bunyi merdu dan berirama efoni. Dalam puisi yang ditulis pada tahun 1973 ini, juga banyak dijumpai lambang, yaitu pengganti suatu hal dengan hal lain. Misalnya pada bait pertama, yaitu //menghisap sebatang lisong// yang melambangkan menikmati gaya hidup mewah dengan menghisap sebatang lisong. Kemudian pada baris selanjutnya yaitu, //dua tiga cukong mengangkang berak di atas kepala mereka// yang melambangkan orang-orang kaya pemilik modal bersenang-senang di atas penderitaan rakyat. Kemudian pada bait ketiga, yaitu // tetapi pertanyaan – pertanyaanku/ membentur meja kekuasaan yang macet//. Pada potongan bait ini melambangkan bahwa pertanyaan penyair sia-sia. Hal ini dikarenakan penyair tidak bisa berkomunikasi dengan manusia yang bertanggung jawab. Penyair hanya menemui sosok benda mati yang itu semua merupakan abstraksi dari kenyataan yang digambarkan penyair dengan meja kekuasaan yang macet tidak diberikan kebebasan menyuarakan pendapatnya. Selanjutnya, hal ini dipertegas lagi pada baris selanjutnya, yaitu // dan papantulis – papantulis para pendidik/ yang terlepas dari persoalan kehidupan//. Potongan bait ini melambangkan dunia pendidikan khususnya guru. Pada bait keempat yaitu //delapan juta kanak – kanak/ menghadapi satu jalan panjang/ tanpa pilihan/ tanpa pepohonan/ tanpa dangau persinggahan/ tanpa ada bayangan ujungnya//. Potongan bait ini melambangkan anak-anak yang tidak mengenyam pendidikan, masa depannya suram. Sedangkan pada bait kelima, yaitu //menghisap udara yang disemprot deodorant// melambangkan orang-orang kaya, yaitu deodorant dilambangkan sebagai tanda kemewahan kalangan tertentu yang bekasnya tercium di udara. Namun, hal ini juga dapat ditafsirkan sebagai polusi industri yang membuat keadaan alam terutama udara dipenuhi zat-zat berbahaya dari industri. Pada bait kedelapan baris pertama yaitu //gunung – gunung menjulang// melambangkan gedung-gedung tinggi pencakar langit. Baris berikutnya yaitu //protes – protes yang terpendam/ terhimpit di bawah tilam// melambangkan ketidak berdayaan masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya dan akhirnya masyarakat memilih tidur daripada mendapat celaka. Hal ini dilambangkan dengan kata tilam yang bearti tempat tidur. Pada bait kesembilan baris kedua dan ketiga, yaitu //tetapi pertanyaanku/ membentur jidat penyair – penyair salon//. Hal ini melambangkan para sastrawan yang tidak peka terhadap keadaan sosial. Mereka hanya sibuk dengan sajak-sajak romantis yang dibuatnya, sehingga sastrawan-sastrawan tersebut dianggap penyair salon yaitu yang ditafsirkan sebagai penyair banci. Mereka hanya gemara berdandan retorika dengan kata “anggur dan rembulannya”. Tipografi puisi yang berjudul Sajak Sebatang Lisong ini adalah bentuk yang pada umumnya digunakan oleh penyair yaitu menggunakan rata kiri dan dimulai dengan huruf kecil semua, walaupun ditulis diawal kalimat. Oleh karena jumlah larik atau baris dalam puisi karya Rendra ini banyak, maka penyair juga menggunakan bait dalam puisinya. Puisi yang ditulis dalam buku Potret Pembangunan dalam Puisi ini bertemakan kritik sosial. Di tengah carut-marutnya negara Indonesia akan pendidikan, perekonomian, dan sistem birokrasi. Ia berbicara kritik sosial dengan menggunakan bahasa sastra yang sangat bagus dan mendalam jika ditelaah artinya. Sebagai seorang sastrawan ia merasa tergerak demi perubahan sosial, sehingga ia tak sungkan-sungkan untuk mengkritik ranah sosial dan politik dengan keahlian sastranya. Dalam sajaknya yang ditulis pada tahun 1973 inilah ia dengan lantang menyuarakan nasib anak-anak Indonesia yang tidak mengenyam pendidikan dan sarjana-sarjana yang menganggur, berpeluh di jalan raya. Sementara itu para penguasa/orang-orang kaya sama sekali tidak memperhatikan hal tersebut. Mereka malah asik dengan harta dan kekuasaanya. Sistem birokrasi juga tidak luput dari kritiknya. Tampilnya militer dalam puncak pemerintahan memberikan dampak tersendiri di Indonesia. Selain militer, pemerintah orde baru juga mempergunakan teknokrat sebagai tulang punggung pengatur perekonomian pada awal pemerintahannya. Militer menyadari tidak semua tugas negara dapat diemban seorang diri apalagi mengatur keuangan, pembangunan, dan perekonomian negara. Dalam sejarah Indonesia, keterlibatan teknokrat dan angkatan darat dalam arena percaturan politik melahirkan rezim yang absolut Nurjaya, Tanpa tahun55. Selain itu Rendra juga mengkritik sastrawan-sastrawan dan teman-teman seperjuangannya di dunia sastra. Ia merasa prihatin terhadap sastrawan yang sama sekali tidak peka akan keadaan yang terjadi di negaranya. Rendra secara tegas mengkritik sastrawan-sastrawan pada masa itu, yang terus-menerus menghasilkan karya yang bermutu rendah dan erotisme. Padahal sebagai seorang intelektual dengan bahasa sebagai sarana perjuangan sosial, sastrawan seharusnya ikut andil menjadi motor penggerak. Amanat yang terkandung dalam puisi ini adalah penyair ingin menyampaikan sekaligus mengajak pada masyarakat untuk keluar dari keterpurukan, baik dalam persoalan sosial, pendidikan, ekonomi, dan birokrasi. Sudah saatnya Indonesia keluar dari persoalan akut dengan membangun kemandirian dan tidak lagi bersandar/ mengandalkan pada kekuatan asing.

SajakSebatang Lisong menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya mendengar 130 juta rakyat dan di langit dua tiga cukung mengangkang berak di atas kepala mereka matahari terbit fajar tiba dan aku melihat delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan aku bertanya

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Minggu pagi baca-baca puisi karya penyair hebat sekelas Rendra sangat menarik dan terasa masih cukup relevan dengan keadaan sekarang. Misalnya ada kalimat "dua tiga cukong mengangkang" sy jd teringat Anggodo vs KPK........ Puisi ini ditulis tahun 1977, seperti kata orang bijak belajar dari masa lalu untuk masa depan lebih baik, semoga bermanfaat............... Sajak Sebatang Lisong – Rendra Menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya, mendengar 130 juta rakyat, dan di langit dua tiga cukong mengangkang, berak di atas kepala mereka Matahari terbit. Fajar tiba. Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan. Aku bertanya, tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet, dan papantulis-papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan. Delapan juta kanak-kanak menghadapi satu jalan panjang, tanpa pilihan, tanpa pepohonan, tanpa dangau persinggahan, tanpa ada bayangan ujungnya. ………………… Menghisap udara yang disemprot deodorant, aku melihat sarjana-sarjana menganggur berpeluh di jalan raya; aku melihat wanita bunting antri uang pensiun. Dan di langit; para tekhnokrat berkata bahwa bangsa kita adalah malas, bahwa bangsa mesti dibangun; mesti di-up-grade disesuaikan dengan teknologi yang diimpor Gunung-gunung menjulang. Langit pesta warna di dalam senjakala Dan aku melihat protes-protes yang terpendam, terhimpit di bawah tilam. Aku bertanya, tetapi pertanyaanku membentur jidat penyair-penyair salon, yang bersajak tentang anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan termangu-mangu di kaki dewi kesenian. Bunga-bunga bangsa tahun depan berkunang-kunang pandang matanya, di bawah iklan berlampu neon, Berjuta-juta harapan ibu dan bapak menjadi gemalau suara yang kacau, menjadi karang di bawah muka samodra. ……………… Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing. Diktat-diktat hanya boleh memberi metode, tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan. Kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa, mencatat sendiri semua gejala, dan menghayati persoalan yang nyata. Inilah sajakku Pamplet masa darurat. Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan. 19 Agustus 1977 ITB Bandung Potret Pembangunan dalam Puisi Lihat Puisi Selengkapnya
. 309 438 154 415 66 157 421 444

makna puisi sajak sebatang lisong